Beranda Gaya Hidup Ikeda dan Lidahnya

Ikeda dan Lidahnya

Ilustrasi

“Dapur,” kata penulis kuliner Grimod de la Reynière, adalah “negeri kelahiran penemuan-penemuan baru.” Salah satu bukti terbaik datang dari Kikunae Ikeda, profesor kimia Tokyo Imperial University, yang menemukan “umami” pada 1908. 

Pada pertengahan 1907, saat makan malam bersama keluarganya, Ikeda berkali-kali mendecakkan lidah. Ia berpikir tentang kombu dashi—kaldu khas Jepang yang terbuat dari rumput laut kering—yang sedang disantapnya: ini rasa apa, sih? Menurut Ikeda, rasa itu tak dapat digolongkan baik sebagai manis, asam, asin, maupun pahit. 

Maka Ikeda bereksperimen. Dia merebus 12 kilogram rumput laut kering (kombu) sampai menjadi cairan kental. Berbulan-bulan ia mengekstrak dan meneliti cairan itu. Hasilnya: sebuk kristal kecokelatan bercitarasa sesuai bayangan Ikeda. Dia kemudian menamai bubuk itu umami, dari kata umai yang berarti lezat dan mi yang berarti rasa. Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal rasa itu dengan sebutan gurih. 

Dalam artikelnya di The Guardian, Amy Fleming menyebut umami sebagai kepingan menarik dalam puzzle gastronomi manusia.

“Setelah penelitian demi penelitian membuktikan lidah kita punya reseptor rasa gurih, rasa dasar kelima (empat rasa dasar lainnya telah diterima khalayak ribuan tahun lalu), betapa banyak resep kuno yang tiba-tiba menjadi masuk akal. Umami adalah alasan mengapa orang-orang Romawi menyukai liquamen, saus fermentasi ikan teri yang diaduk sehalus mungkin hingga menyerupai kecap yang kita kenal,” tulisnya.

Fleming juga mengatakan bahwa Escoffier, koki legendaris Perancis abad ke-19 yang dikenal piawai mengolah kaldu daging sapi muda, meyakini rahasia kesuksesannya lahir dari rasa kelima yang sedap. “Tetapi semua orang terlalu sibuk menyantap sajian sehingga mengabaikan teori-teori,” kata Fleming. 

Jauh sebelum dinamai dan diakui sebagai rasa, umami sebetulnya sudah dikenal baik oleh lidah manusia: ia terkandung dalam asparagus, tomat, keju, daging, dan berbagai makanan alami maupun olahan. Di Indonesia, sebagaimana disampaikan profesor Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB Purwiyatno Hariyadi, umami terkandung dalam tempe, terasi, hingga kecap manis. 

Menurut Ikeda, rasa khas pada umami disebabkan asam glutamat—yang setelah diionisasi, ternyata juga mengandung zat-zat lain seperti kalsium, potasium, magnesium glutamat, dan sodium glutamat. Di antara zat-zat itu, sodium glutamatlah yang paling mudah mengkristal dan dominan dalam menghasilkan citarasa. 

Eksperimen Ikeda yang ajek menghasilkan penemuan lain: kristal yang molekulnya bernama monosodium glutamat alias MSG. Pada 1908, MSG dipatenkan dan setahun berikutnya diproduksi secara masif dengan merk Aji-no-moto, yang berarti esensi kelezatan. 

Dicurigai, Dituduh, Diinginkan 

Pada 1968, publik Barat geger karena publikasi tentang “Chinese Restaurant Syndrome” (CRS) di New England Journal of Medicine. CRS adalah gejala-gejala yang muncul setelah menyantap makanan Cina: pusing, mual, berkeringat. Penelitian itu didasarkan pada pengakuan seseorang, bahwa saban ia makan makanan Cina, 15 hingga 20 menit kemudian ia merasa lehernya kaku dan dan badannya lemas. Maka MSG, yang memang banyak digunakan dalam masakan Asia, dituding sebagai biang keroknya. 

Penelitian-penelitian susulan pun digelar. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan kausal antara CRS dengan MSG. “Jika MSG berbahaya, mengapa semua orang Cina atau Asia tidak pusing setelah memakannya?” kata kritikus makanan Jeffrey Steingarten, yang berpendapat kasus tersebut bernuansa rasisme. Adapun FDA, badan makanan dan obat Amerika Serikat, menggolongkan MSG sebagai “generally recognized as safe” (GRAS) atau zat yang secara umum dinyatakan aman. 

Namun, mengapa sebagian orang pusing dan mual setelah mengonsumsi MSG? Anna Maria Barry-Jester dari FiveThirtyEight mengatakan itu hanya fenomena psikologis bernama Efek Nocebo: jika Anda mempercayai sesuatu dapat menimbulkan hal buruk, hal buruk itu dapat benar-benar terjadi. 

“Kebanyakan penjelasan mengenai sumber rasa umami/MSG bukan dari ahlinya dan cenderung didasarkan pada pendapat pribadi yang akhirnya membuat masyarakat galau,” kata Kepala Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Dr. Ir. Annis Catur Adi, M.Si. 

Menurut Dr. Annis, MSG bahkan bisa menjadi pengganti garam bagi para penderita hipertensi karena kandungan natriumnya lebih rendah. Ahli gizi Dr. Johannes Chandrawinata, MND, SpGK., di sisi lain, menilai MSG bermanfaat untuk meningkatkan selera makan para lansia. 

“Bagi umat manusia, penemuan hidangan baru lebih membahagiakan ketimbang penemuan bintang baru,” tulis Jean-Anthelme Brillat-Savarin dalam The Physiology of Taste (1825). Maka, alih-alih secara serampangan terus menuduh MSG atau vetsin sebagai penyebab kedegilan, mari hitung kebahagiaan yang sudah diberikan MSG dan Ajinomoto buat lidah kita.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here