Ilustrasi
Berlin menggelar puluhan festival film saban tahun. Mulai dari yang paling bergengsi macam Berlinale, hingga ajang berskala kecil yang biasa digagas kolektif seni. Memang tak salah-salah amat jika seseorang menyebut Berlin sebagai “kota festival film”. Tapi di antara festival-festival itu, tak ada yang mampu menandingi kehebohan Berlin Porn Film Festival atau Festival Film Porno Berlin.
Ajang film porno tahun ini berlangsung pada 23-28 Oktober dan merupakan yang ketigabelas kali diadakan sejak digagas Jürgen Brüning pada 2006. Animo penontonnya selalu besar. Pada 2015, misalnya, festival ini disambangi 8.000 pengunjung, baik laki-laki maupun perempuan. Data pengunjung tahun ini belum resmi dirilis, namun setiap tahunnya pengunjung Berlin Porn Film Festival senantiasa bertambah.
Amerika Latin menjadi fokus dari gelaran tahun ini, dengan tema tubuh sebagai teritori politik tempat kontestasi kelas, gender, dan ras. Tema ini amat dominan mewarnai film pembuka festival, Les Hijas del Fuego, karya sutradara perempuan asal Argentina, Albertina Carri. Ia mendaulat film berdurasi 115 menit ini sebagai film post-porn pertama yang pernah diproduksi di Amerika Latin.
Jangan berharap untuk menyaksikan film porno macam seri Big Tits at School atau MILFS Like it Big-nya Brazzers di Berlin Porn Film Festival. Festival ini adalah festival film porno alternatif. Brüning memelopori acara ini dengan harapan dapat memberi angin segar di lautan film porno arus utama yang “itu-itu saja”.
Ada beberapa kategori film lain di samping Amerika Latin, seperti dokumenter, film pendek, dan retrospektif. Semuanya mencakup berbagai macam orientasi seksual seperti gay, lesbian, hetero, dan transgender. Salah satu hal menarik dari festival ini adalah partisipasi film-film porno yang disutradarai perempuan, yang jumlahnya mencapai hampir setengah dari total film yang diputar.
Bahkan, satu-satunya film arus utama yang ikut serta di festival ini, Professor Marston and the Wonder Woman, juga disutradarai perempuan, Angela Robinson. Film yang dibintangi artis tenar Luke Evans dan Rebecca Hall ini berkisah tentang sejarah yang tidak banyak diketahui orang di balik tokoh superhero Wonder Woman, yang ternyata amat erat terkait dengan power-play sex dan hubungan romantis poliamori.
Merayakan Puluhan Tahun LGBTQ
Ketika melangkahkan kaki ke ruang tunggu bioskop Movie Mento di Kreuzberg, saya disambut ramah oleh seorang perempuan transgender yang mengenakan bikini sequin dan trenchcoat berwarna pink metalik. “Bitte hier warten! (Mohon tunggu di sini!),” sapanya.
Saya menurut dan duduk di sofa mungil yang terletak di bawah spanduk besar sponsor dari majalah Siegessäule. Spanduk itu bertuliskan “We Are Queer Berlin”.Sambil mengalihkan rasa bosan menunggu, saya menyibukkan diri dengan memperhatikan pengunjung yang datang dan pergi.
Ternyata selain perempuan yang menyambut saya di muka ruang tunggu, ada banyak pula pengunjung yang berpakaian tidak konvensional (di tengah udara dingin yang mulai menggigit di Berlin!). Selain itu, di luar dugaan banyak orang yang mungkin menganggap hanya laki-laki yang menonton film porno, ada lebih banyak pengunjung perempuan dibanding laki-laki sore itu di Movie Mento.
Movie Mento merupakan salah satu bioskop yang berpartisipasi dalam festival ini, bersama dengan Babylon dan Spektrum, yang semuanya terletak di Kreuzberg. Distrik Kreuzberg barangkali kawasan paling menarik di Berlin karena amat ramah terhadap queer dan komunitas gay.
Jauh sebelum dikenal sebagai ibu kota hipsternya Eropa, Berlin sejak puluhan tahun lalu telah terbuka terhadap ragam orientasi seksual dan terus berlanjut hingga kini. Majalah gay pertama di dunia, Der Eigene, diterbitkan di Berlin pada 1896. Di dekade 1920-1930-an kabaret gay dan lesbian menjamur di Schöneberg. Film dan karya seni yang merayakan queer dan karakter androgini seperti Marlene Dietrich juga popular di masa itu.
Selain Schöneberg dan Kreuzberg, Distrik Neukölln juga dikenal sangat terbuka kepada komunitas LGBTQ. Bahkan, ketiga distrik itu memiliki reputasi ternama sebagai ‘Queer Berlin’ atau distrik gay-nya Berlin. Di tiga distrik itu pula, para imigran yang sangat banyak jumlahnya—terutama dari Turki—bisa diterima dengan baik. Kreuzberg dan Neukölln juga merupakan rumah bagi aktivisme politik kiri yang amat dominan di Berlin.
Meleburkan Batas Publik dan Privat hingga Ethical Porn
Susanne Frank menceritakan kepada saya impresinya setelah menonton Landlocked, film porno karya Livia Cheibub, pada pemutaran hari kedua festival. “Rasanya aneh! Menonton film porno tapi ramai-ramai,” ujar perempuan berusia 37 itu.
Aktivitas menonton film porno yang bagi banyak orang merupakan hal privat, melalui festival film ini diubah menjadi pengalaman publik. Sebenarnya, ada pula masa-masa ketika film porno diapresiasi publik dan ditonton di bioskop, walau dalam periode yang cukup singkat.
Dekade 1970-an hingga awal tahun 1980-an, misalnya, seringkali dianggap sebagai masa keemasan industri film porno (The Golden Age of Porn). Era ini ditandai dengan kemunculan film-film porno monumental yang digarap secara serius dan artistik seperti Deep Throat (1972) dan Alice in Wonderland (1976). Film-film erotis besutan nama besar juga bermunculan seperti Je vous salue, Marie (1985) karya Jean Luc Godard dan Blue Movie (1969) karya Andy Warhol. Film porno dan erotis ini menjadi box office di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, serta diulas kritikus film di pelbagai surat kabar.
Reiterasi semangat yang sama terasa di Berlin Porn Film Festival, yaitu memunculkan film porno yang berkualitas dan layak ditonton di layar lebar. Menonton film biru sebagai aktivitas di ruang publik merupakan salah satu fitur unik dari festival ini, terlebih dengan kemajuan teknologi dan meluasnya penggunaan internet yang mengubah aktivitas menonton film porno menjadi benar-benar individual. Jika di masa lalu orang setidaknya harus pergi ke toko atau rental video dewasa, di masa kini mengakses film porno semudah mengetik url di mesin pencari ponsel atau laptop.
Body positivity menjadi fitur unik lain yang patut digarisbawahi di festival ini. Berbeda dengan kebanyakan film porno arus utama yang menampilkan gambaran utopis tentang standar tubuh ideal laki-laki dan perempuan serta aktivitas seksual yang tidak natural, film-film dalam festival ini menampilkan “real bodies”. Tubuh yang “tak sempurna” dan tabu untuk ditampilkan dalam kebanyakan film porno tidak diharamkan di festival ini. Stretchmark, selulit, ukuran penis normal, dan payudara asimetris sibuk lalu-lalang di depan mata penonton.
Selain apresiasi untuk imaji tubuh yang “abnormal”, festival film ini juga mengusung agenda feminisme dalam bentuk lain, yakni ceramah umum dan panel. Panel dan diskusi dibuat terbuka untuk umum dan mengusung tema seperti keamanan dalam industri film porno, pengalaman dan stigmatisasi bagi artis film porno, serta ethical porn.
Diskusi mengenai ethical porn dilaksanakan di hari terakhir dan menjadi panel yang paling ramai. Debat yang bermunculan antara lain mengenai benar dan salah dalam industri film porno, dikotomi antara film porno sejalan atau bertentangan dengan perjuangan kelompok feminis, hingga pentingnya penikmat porno untuk memilih servis berbayar dan menghindari streaming gratis.
Kalimat pemantik dari perwakilan The Meow-Meow Collective yang menjadi pembicara dalam panel diskusi ethical porn layak dijadikan renungan bagi para penikmat porno di seluruh dunia: “Is there a right way to fuck in a world so wrong?”
==========
Tika Ramadhini adalah peneliti pada Zentrum Moderner Orient, Berlin dan kandidat doktor sejarah di Humboldt Universität. Saat ini sedang menulis disertasi tentang kehidupan para perempuan Jawa di Makkah awal abad ke-20. Ia lahir di Jakarta, 23 Maret 1992.