Calon presiden 2019
Para pensiunan perwira tinggi TNI ramai-ramai bergabung dalam tim pemenangan kampanye Pilpres 2019. Mereka sebagian merapat ke barisan kandidat Prabowo-Sandiaga dan sebagian ke Jokowi-Ma’ruf.
Dalam daftar tim pemenangan kedua kubu yang beredar di kalangan wartawan, tercatat sekitar 22 purnawirawan di kubu Prabowo-Sandiaga. Seluruhnya akan menginduk pada Capres Letjen TNI Purnawirawan Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus dan Jendral TNI Purnawirawan Djoko Santoso, mantan panglima TNI yang menjabat sebagai ketua tim pemenangan.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Achmad menegaskan, jumlah purnawirawan TNI yang tergabung dalam tim pemenangan Prabowo-Sandiaga belum bisa dipastikan. Sebab, nama-nama yang diajukan belum disahkan oleh KPU.
“Kami kan ada dari kalangan nasionalis, agamis. Lengkap dan penempatan itu disesuaikan sama bidangnya. Jangan diisi orang sembarang. Misalnya saya direktur advokasi ditaruh di dewan penasihat,” katanya saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (22/9/2018).
Dasco menuturkan penempatan para perwira tinggi dalam tim pemenangan telah disesuaikan dengan keahlian masing-masing. Bahkan menurutnya penempatan urutan struktural, tak secara kaku mengacu pada pangkat masing-masing saat aktif menjabat sebagai perwira militer.
“Nanti lihat saja kalau sudah bekerja,” tuturnya.
Di kubu seberang, Jokowi-Ma’ruf memasang enam purnawirawan TNI dalam tim pemenangan. Beberapa di antaranya seperti Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko, mantan panglima TNI era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kini menjabat kepala staf kepresidenan. Selain itu Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Lodewijk Freidrich Paulus, diposisikan sebagai wakil ketua harian tim pemenangan.
Saat dihubungi, Paulus yang kini menjadi sekjen Partai Golkar, mengatakan bahwa purnawirawan TNI yang tergabung dalam tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf memiliki keahlian yang bisa diandalkan. Maka dari itu menurutnya jumlahnya tak banyak.
“Kalau sekarang kan, [nama-nama purnawirawan TNI] belum bisa diumumkan. Agar tidak mendahului KPU,” ungkapnya pada reporter Tirto.
Menghidupkan Rantai Komando
Kepada Tirto, Letjen TNI Purnawirawan Johannes Suryo Prabowo menyampaikan, siap mendukung penuh Prabowo-Sandiaga. Ia menegaskan hingga kini memiliki keahlian dan jejaring militer yang terawat.
“Saya bisa pakai jaringan-jaringan saya. Saya dengan Pak Prabowo ini dekat sudah lama, dan saya dukung sudah dari 2009,” ujarnya.
Peneliti Militer Aris Santoso menilai, apa yang diungkapkan Suryo, membuktikan bahwa para eks TNI yang bergabung dalam persaingan Pilpres 2019, memiliki kedekatan dengan figur masing-masing kubu. Misalnya Suryo Prabowo, merupakan anggota dewan penasihat Prabowo-Sandiaga yang dekat dengan Prabowo.
Suryo pernah menjabat sebagai Kepala Zeni Kopassus dan Komandan Batalyon Zeni Tempur 10, divisi infanteri 2, Kostrad. Dia pernah turut mengalang dukungan dari TNI dan Polri untuk Prabowo di Pilpres 2014 silam.
“Dia ini anak buahnya Prabowo waktu di Kopassus dulu,” jelas Aris kepada reporter Tirto.
Selain itu Aris yakin, para purnawirawan yang turut bersaing di Pilpres 2019 itu, masih memiliki pengaruh yang kuat pada perwira militer yang masih aktif. Mereka memanfaatkan hubungan emosional antara senior pada junior dalam kesatuan militer.
“Bisa saja semacam memanfaatkan jaringan intelijen,” tuturnya.
Kedekatan Suryo dengan Prabowo Subianto serupa dengan Djoko Santoso yang memiliki kedekatan dengan SBY. Ketua umum Partai Demokrat itu yang memilih Djoko sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Mereka bahkan telah menjalin keintiman sejak SBY masih menjabat sebagai kepala staf teritorial pada 1998. Saat itu Djoko dipercaya sebagai wakil SBY. Kedekatan itu terawat hingga SBY menjadi presiden.
Kedekatan Djoko dengan Prabowo baru dimulai sejak 2014. Saat itu putra pertama Djoko, Andika Pandu lolos sebagai anggota DPR RI Dapil Yogyakarta dari Partai Gerindra. Sejak saat itu Djoko muncul di barisan terdepan para pendukung Prabowo.
Ketika Prabowo kalah, pendukungnya melakukan aksi di depan Mahkamah Konstitusi karena gugatan kecurangan Pilpres 2014 ditolak. Saat itu Djoko pasang badan.
Waktu itu tiga mobil Unimog menerabas kawat berduri yang dipasang oleh polisi di dekat massa aksi. Peristiwa itu sempat bikin geger dan Polisi kebingungan karena tidak mengetahui siapa pemilik mobil tersebut. Saat ketegangan itu terjadi, Djoko Santoso mengatakan, “[Mobil] itu milik saya, tulis yang besar, itu milik saya!”
Setahun setelah Pilpres 2014 berlalu, Djoko akhirnya resmi bergabung dengan Partai Gerindra. Dia didapuk menjadi anggota dewan pembina partai tersebut.
Sedangkan di barisan tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf, menurut Aris Santoso, para mantan jenderal mendapatkan posisi karena kedekatan personal dengan Presiden Jokowi. Salah satunya adalah Luhut Binsar Pandjaitan. Komandan Pendidikan dan Pelatihan TNI AD itu adalah rekan bisnis Joko Widodo.
Luhut bahkan berani mengambil risiko enggan menerima tawaran mengisi jabatan Partai Golkar untuk mendukung Jokowi pada Pilpres 2014. Sebab kala itu Partai Golkar tak mengusung Jokowi sebagai capres.
“Luhut ini jenderal segala bisa, tukang barks di kubu Jokowi dan sudah lama dekat. Enggak perlu posisi tim kampanye tapi dia bisa lakukan apa saja,” ujar Aris.
Sisanya merupakan loyalis Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, seperti A.M. Hendropriyono yang merupakan Kepala Badan Intelijen Negara 2001-2004, serta Agum Gumelar yang pernah menjabat Menteri Perhubungan zaman Megawati.
Peneliti Militer dari Universitas Padjajaran Muradi menilai, sokongan para purnawirawan itu sebenarnya tak terlalu ampuh. Namun mereka bisa menjadi simbol dan penguat akses logistik.
“Jadi sekarang memang sulit, menurut saya. Kecuali di era-era 2004, ya waktu Pilpres pertama. 2009 itu susah karena banyak purnawirawan yang bertarung dan itu mempersulit misalnya untuk operasi-operasi intelijen,” kata Muradi pada reporter Tirto.