Ilustrasi Pada 27 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Australia (AHRC) mempublikasikan laporan investigasi berjudul

Ilustrasi

Pada 27 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Australia (AHRC) mempublikasikan laporan investigasi berjudul “An Age of Uncertainty” (PDF). Laporan ini menyorot soal “kesalahan prosedur” pihak berwenang Australia terkait pemenjaraan remaja pria Indonesia di sel penjara dewasa. Dalam rentang 2008 hingga 2011, menurut laporan itu, 180 remaja pria Indonesia tersangkut dalam kasus tersebut. 

Para remaja pria Indonesia itu ditangkap kepolisian Australia dalam kasus penyelundupan imigran gelap. Modusnya, mereka menjadi anak buah kapal (ABK) dari kapal-kapal yang membawa para imigran gelap. Ali Jasmin adalah salah satu remaja pria yang tidak beruntung itu. 

Hasil pengadilan sendiri mendakwa Ali terlibat dalam aktivitas penyelundupan 55 imigran asal Afganistan ke Australia. Dia kemudian diganjar hukuman lima tahun penjara. Ali akhirnya memang dibebaskan dan dideportasi ke Indonesia pada 2012. Itu terjadi setelah kasusnya ramai menjadi perbincangan di media. 

Saat itu, Ali mendapatkan juga bantuan Colin Singer, ketua lembaga swadaya masyarakat Indonesia International Initiatives (TIGA-I). Putusan terhadap Ali pun dibatalkan pada 2017 oleh Pengadilan Tinggi Australia Barat. Pengadilan Tinggi menilai terjadi kesalahan dalam pemutusan perkara terdahulu. Perkembangan terakhir, Ali bersama 50 orang lainnya tengah mengajukan tuntutan ganti rugi.

Terlepas perkara “kesalahan prosedur” pihak berwenang Australia, kasus Ali mendorong pertanyaan: Mengapa remaja (anak-anak) dapat turut serta dalam kasus penyelundupan imigran gelap ke Australia?

Indonesia Transit Favorit
Pada 2017, secara global, sekitar 1,9 juta orang terdaftar sebagai pencari suaka melalui Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Dari jumlah tersebut, 36.200 orang tercatat berusaha mencari suaka ke Australia. Namun, proses mencari suaka tidaklah mudah. 

Para pencari suaka menjalani perjalanan ratusan atau bahkan ribuan kilometer dari negara asalnya. Tidak jarang, sebagian besar dari mereka mengalami kematian dan musibah dalam perjalanan. Para pencari suaka itu menggunakan berbagai cara dan rute jalur perjalanan. Salah satunya adalah jalur pelayaran laut. 

Mereka juga tak bisa serta-mertadapat segera sampai ke negara tujuan. Umumnya, mereka perlu singgah (in transit) di negara-negara tertentu. Dalam konteks perjalanan illegal menuju Australia misalnya, para pencari suaka dari wilayah Timur Tengah atau Asia lain kerap menjadikan Indonesia sebagai tempat singgah. 

Sebuah laporan Departemen Imigrasi dan Perbatasan Australia berjudul “Indonesia as a Transit Country in Irregular Migration to Australia” (PDF) membenarkan hal itu. Salah satu sebabnya adalah Indonesia dilewati dalam jalur perjalanan mereka. Laporan hasil studi terhadap 119 imigran antara tahun 2010-2012 dari Afganistan, Sri Lanka, Myanmar itu menunjukkan bahwa sebanyak 90,7 persen-nya memasuki Indonesia secara ilegal. Hanya 9,3 persen saja yang legal. 

Ada banyak alasan yang menyebabkan mereka datang ke Indonesia secara ilegal, seperti ditunjukkan tabel berikut ini.

Waktu Transit
Kenyataan bahwa Indonesia adalah negara singgah (in transit) bagi para imigran gelap itu terbukti dari durasi mereka tinggal. Sebanyak 17,50 persen imigran responden menyatakan mereka tinggal di Indonesia selama 2-4 minggu. Selama kurun waktu itulah para imigran bisa mengambil jeda untuk perjalanan selanjutnya, berganti agen penyelundup, atau menjadikan transit sebagai strategi tersendiri sebelum masuk ke wilayah Australia.

Agen Lokal Berperan
Detail laporan menyebut bahwa para imigran, para pencari suaka ke Australia, biasanya melakukan transaksi dengan agen kapal lokal di sekitar perairan Sumatera. Sekitar 57,7 persen imigran mengakui mereka berpindah dari agen asal ke agen lokal di wilayah itu (hal. 12). Mayoritas responden juga mengaku berangkat dari Jawa Timur, Nusa Tenggara, serta pulau-pulau kecil di bagian Timur Indonesia. 

Departemen Imigrasi dan Perbatasan Australia mencatat bahwa agen penyelundup memiliki peran signifikan dalam memboyong imigran ke Australia. Para agen ini berbasis di Indonesia dan mereka melakukan kesepakatan tertentu dengan para imigran.

Sebanyak 20 imigran (16,8 persen) yang dalam riset itu mengaku melakukan kesepakatan dengan agen kapal penyelundup lokal. Para pencari suaka harus berhati-hati dalam memilih agen dan menegosiasikan harga, agar mereka dapat selamat sampai ke Australia. Sebanyak 14,3 persen imigran gelap menggunakan peran agen asal dan agen lokal agar berhasil. 

Faktor kunci Indonesia tidak hanya sebatas pada peran agen lokal/agen kapal di atas. Saat ditanya kemungkinan untuk mendapatkan settlement (bermukim) di Indonesia jika ditolak masuk ke Australia, mereka menjawab bahwa Indonesia menjadi negara yang mereka pertimbangkan. Mayoritas imigran dari Afganistan, Sri Langka, Myanmar membuka kemungkinan itu dengan alasan beragam. 

Imigran dari Afganistan, misalnya, menganggap Indonesia penduduknya ramah (33,8%) dan negaranya damai (36,9%). Hal yang sama muncul dari pandangan imigran Myanmar yang menilai Indonesia penduduknya ramah (50%), dan negaranya damai (58,3%).

Bahkan, kemungkinan lain seperti menikah dengan orang lokal juga ada. Faktor lainnya, Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim, sehingga pemerintah setempat mengizinkan imigran tinggal bersama warga lokal.

Membongkar Modus?
Kasus yang menimpa Ali Jasmin dan 180 anak Indonesia lainnya perlu dibaca lebih dari sebatas “kesalahan prosedur” pihak berwenang Australia saja. 

Persoalan Indonesia sebagai tempat transit imigran gelap dalam perjalan menuju Australia perlu diwaspadai, terutama ihwal potensi adanya modus operandi yang mengikutsertakan anak-anak sebagai ABK kapal dalam bisnis penyelundupan ini. Dari beberapa data yang telah dipaparkan, peran agen lokal Indonesia sebagai kunci sebelum masuk ke Australia patut menjadi perhatian. 

Berdasarkan cerita Ali, dalam laporan AHRC, dia bahkan tidak tahu siapa pemilik bisnis kapal, termasuk isinya. Yang Ali tahu hanyalah iming-iming bayaran yang besar.

Antje Missbach, dari University of Melbourne pernah memaparkan dalam tulisannya, “Prosecuting People Smugglers in Indonesia” (2013), bahwa pemain besar di balik industri penyelundupan manusia ke Australia sulit diketahui. Kisah Ali Jasmin dan 180 anak lain bisa jadi hanyalah puncak gunung es. Perlu penyelidikan secara khusus dari pihak Indonesia soal peran agen lokal dalam perjalanan imigran gelap menuju Australia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *