Ilustrasi bullying. Deden Abdul Qohar, 22 tahun, mahasiswa tingkat akhir Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Ilustrasi bullying.

Deden Abdul Qohar, 22 tahun, mahasiswa tingkat akhir Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) mempunyai kenangan buruk terhadap penggunaan bahasa. Tekanan mental itu muncul setiap dia menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, terutama di wilayah kampus. Karena hal itu, dia menjadi bahan tertawaan atau korban perundungan.

Ia sadar tak mahir berbahasa Inggris, maka dari itu Deden mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa asing tersebut. Tujuannya bukan keminggris tapi agar terbiasa. 

“Apaan sih lu Den, sok-sok bahasa Inggris njir,” kata Deden menirukan cercaan rekannya. “TOEFL aja kaga lulus, mau gaya bahasa Inggris lu Den.”

Ia heran melihat teman-temannya tak mendukung tapi malah merendahkan dirinya. “Malah saling ejek dan saling olok-olok, bagaimana Indonesia mau berkembang. Padahal Bahasa Inggris kan bahasa global dan digunakan di mana-mana,” keluh Deden saat dihubungi reporter Tirto, Kamis 6 September 2018.

Belakangan di berbagai sosial media juga ramai perundungan pada mereka yang memakai bahasa “gado-gado”. Mereka yang menjadi korban kerap menggunakan kosakata Bahasa Inggris seperti ‘which is’, ‘literally’, ‘even’ dengan campuran bahasa gaul Jakarta misalnya, ‘kek’, ‘gua’, ‘yauda’, dan sebagainya.

Padahal berdasarkan penelitian EF Education First pada tahun 2017, tingkat kecakapan bahasa Inggris orang Indonesia, berada di peringkat 39 dari 80 negara di dunia. Sedangkan di tingkat Asia, Indonesia menempati peringkat 10 dari 20 negara. EF menggolongkan sebagai capaian terendah Indonesia dihitung dari tahun 2011. 

Data tersebut didapat dari satu juta orang dewasa yang mengikuti tes bahasa Inggris berstandar internasional. EF merupakan perusahaan pendidikan internasional terbesar yang mengkhususkan diri dalam pelatihan bahasa, perjalanan pendidikan, gelar akademik, dan pembelajaran online. Menurut mereka bahasa Inggris penting karena menjadi bahasa perdagangan, sains, bisnis, dan diplomasi.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid merespons kebiasaan merisak tersebut. Menurutnya upaya merundung orang yang menggunakan bahasa Inggris secara penuh atau campuran ialah, “Kesombongan yang sebenarnya berakar dari rasa minder terhadap asing yang superior,” katanya melalui pesan singkat pada reporter Tirto.

Merangkul Mereka yang Keminggris
Dosen Program Studi Sastra Inggris Universitas Indonesia Junaidi menilai, ada beberapa faktor yang menyebabkan perundungan itu muncul. Salah satunya karena dianggap tak nasionalis.

“Mereka melakukan karena banyak alasan. Misalnya, penggunaan bahasa asing tidak mencerminkan rasa kebangsaan sebagai orang Indonesia, ada rasa sombong, eksklusif, dan lain-lain,” kata Junaidi saat dihubungi reporter Tirto.

Tapi hal tersebut berlaku sebaliknya. Mereka yang menggunakan bahasa campuran Indonesia dan Inggris akan menganggap orang meremehkannya tidak canggih, kuno, kurang gaul, dan sebagainya.

“Tentu tindakan mem-bully atau mengolok-ngolok tidak dapat dibenarkan. Sebaiknya kita mengetahui alasan penggunaan bahasa asing tersebut dan bersikap sepantasnya. Penutur bahasa asing ini tentu punya alasan,” ujar pengajar linguistik, Cultural Studies, dan British Studies tersebut.

Padahal menurut Junaidi, dengan menggunakan bahasa Inggris, kita bisa menyampaikan gagasan dan pemikiran bangsa Indonesia di mata dunia.

Dihubungi secara terpisah, Ikwan Setiawan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Jember (Unej), melihat fenomena para remaja yang memakai bahasa campuran sebagai perilaku yang wajar. Menurutnya secara akademik hal itu tak bermasalah.

“Proses berbahasa asing, memang seperti itu. Itu lumrah. Itu menjadi tidak lumrah jika berhadapan dengan media sosial, menjadi ajang terbuka dan mengolok-olok,” kata Ketua Umum Matatimoer Institute, sebuah lembaga yang fokus pada kajian budaya dan pemberdayaan komunitas di Jember tersebut.

Ikwan menegaskan, dampak buruk justru akan muncul ketika penutur bahasa campuran itu dirisak ramai-ramai. Bahayanya orang yang belum mahir berbahasa Inggris tersebut akan putus asa dan tingkat pendidikan kita baik di ruang formal maupun ruang publik, akan semakin terbelakang.

“Di luar negeri orang belajar bahasa Indonesia tak ada di-bully. Malah diajari, difasilitasi,” ujar peneliti Menjadi Sang Hibrid: Hibriditas Budaya dalam Masyarakat Lokal yang diterbitkan Unej pada tahun 2012 tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *